Monday 16 August 2010

Merenungan Kemerdekaan

Hilangnya akar budaya dan pemahaman serta harga diri bangsa  di injak-injak bangsa lain yang selama ini sering kita ketahui, kita merasakan, tapi seolah kita tak bergeming, sebagai rakyat kita membara emosi kemarahan meledak, tapi kita hanya sebagai rakyat yang maju ,ditendang, diam nelangsa.

Entah maunya pemerintah apa? Bukanya mereka yang harus melayani rakyatnya, maunya bagaimana, jika pada koridor itu benar, tapi sekarang malah terbalik pemerintah yang minta dilayani oleh rakyat.


Namun,sayang,demokrasi yang kita rasakan sejak Mei 1998 atau 12 tahun lalu masih merupakan demokrasi prosedural,kalau tidak dapat dikatakan––meminjam istilah Olle Tornquist––“demokrasi kaum penjahat”. Rajutan demokrasi yang kita bangun belum mencapai demokrasi substansial di mana rakyat benar-benar menjadi pemegang kedaulatan politik di negeri ini. Demokrasi juga belum sejalan dengan kesejahteraan ekonomi dan keadilan yang diidam-idamkan rakyat.

Salah urus di negeri ini terasa masih masif.Legitimasi dan otoritas politik yang dimiliki para petinggi negeri,baik di pusat maupun daerah,belum benar-benar digunakan untuk memberikan rasa keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat. Indonesia,sebuah negeri yang merdeka, belum menjadi negeri bagi semua warganya. Keinginan Bung Karno dan para pendiri negeri lainnya untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri “semua untuk semua”yang bertumpu pada sifat kegotong-royongan masyarakat juga semakin jauh dari kenyataan.

Semakin hari semakin banyak anak Indonesia yang tidak dapat menikmati pendidikan layak. Semakin hari semakin sulit bagi anak-anak tak mampu untuk dapat menikmati pendidikan di bangku perguruan tinggi. Cita-cita menggapai bintangbintang di langit bagi semua anak Indonesia bagaikan impian yang sulit menjadi kenyataan.Biaya untuk masuk perguruan tinggi begitu besar, sesuatu yang sulit menjadi kenyataan bagi kebanyakan anak Indonesia.

Semakin hari semakin bertambah anak-anak Indonesia yang masuk ke dalam kategori “generasi yang hilang”akibat dari kemiskinan struktural yang mereka hadapi atau akibat dari kebijakan pemerintah untuk semakin “mensemiswasta-kan”perguruanperguruan tinggi negeri. Beasiswa yang diberikan bagi anak-anak miskin semakin hari semakin terbatas jumlahnya.

Kita juga patut bertanya, apakah negeri ini benar-benar sudah menjadi negeri yang berdaulat dari segi politik, ekonomi, dan sosial budaya? Dari segi politik,mampukah kita menepis campur tangan asing yang selalu ingin memengaruhi perkembangan politik di Tanah Air? Dari sisi politik luar negeri, dapatkah kita berani mengatakan tidak kepada negara-negara besar yang banyak menuntut agar Indonesia memenuhi keinginan mereka? Kebijakan ekonomi kita apakah sudah benar-benar ditujukan kepada kesejahteraan rakyat ataukah hanya menuruti tekanan kapitalisme global?

Apakah kita sudah benar-benar berkepribadian di dalam aktivitas sosial budaya kita? Dalam kaitan ini, adalah tepat bila kita sekali lagi kembali pada gagasan Trisakti Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi,dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Indonesia adalah bangsa yang besar, bukan bangsa kuli.Namun bila para pemimpin bangsa tidak mampu mengarahkan rakyatnya agar bergotong-royong membangun negeri demi kejayaan bangsa ke depan, kita akan terus tergilas oleh arus politik, ekonomi, dan budaya global yang menyengsarakan rakyat.

Kita memang tidak boleh pesimistis dalam menghadapi kenyataan yang ada.Berpikir, berjuang, berkarya, dan bersatu untuk kejayaan negeri bukanlah slogan kosong masa lalu. Optimisme harus kita bangun bersama antara para pemimpin dan seluruh rakyat Indonesia agar kita benar-benar dapat menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Hanya dengan kerja keras dan pantang menyerah, segalanya dapat kita raih.Dirgahayu Indonesiaku, milik seluruh rakyatnya.Semoga usia 65 tahun merupakan usia yang matang untuk bangkit meraih cita-cita bersama, bukan usia yang semakin uzur yang tak mampu membangkitkan semangat rakyatnya.


sumber:seputarindonesia

1 comment:

  1. analisisnya mantab dan tajam, mas. apa pun yang terjadi, kita harus tetap cinta pada Indonesia. dirgahayu bangsaku!

    ReplyDelete